Jumat, 30 Januari 2015

Makalah Ilmu Pendidikan : Peran Pendidikan dalam pembentukan karakter

 “PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER”
MAKALAH
ILMU PENDIDIKAN



DISUSUN OLEH
      NAMA            : M.REDO ALFENDO         
NIM                : 13503249001               

PENDIDIKAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................
i
ABSTRAK ...........................................................................................................................................
1
A.      PENDAHULUAN ...................................................................................................................
2
B.       DEFINISI KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER ................................................
5
C.       MEMBANGUN BANGSA BERKARAKTER .......................................................................
7
D.      LINGKUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER .......................................................................
12
E.       PERAN PENDIDIK DALAM MEMBENTUK KARAKTER SDM ......................................
16
F.       PENUTUP ..............................................................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................................
20





ABSTRAK
Sehari hari kita masih dipenuhi dengan berita tentang makin merambaknya berbagai gejala sosial yang salah : Kolusi, Korupsi, yang menjadi “budaya se hari-hari” , tatakrama dan perilaku yang tidak sesuai budaya yang kita yakini, maupun perilaku para pemimpin atau orang yang kita anggap dapat memimpin kita yang menjadi panutan kita. Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang berakibat panutan yang salah dan diteruskan sebagai budaya untuk generasi penerus. Budaya yang disebutkan ini kemudian menjadi semacam “icon” dari bangsa ini, dan tercermin sebagai “karakter bangsa”.
Tatanilai manusia  bangsa Indonesia  dikatakan makin berubah kearah yang tidak menentu : tidak mempunyai nilai-budaya lagi karena kurangnya pendidikan “budi-pekerti” sejak awal pendidikan dasar. Evaluasi terhadap “pendidikan di Indonesia” dikatakan oleh banyak pendapat, masih tertinggal dibandingkan negara negara tetangga kita sesama Asia. Ada rencana untuk maju, menambah dana untuk pendidikan dari alokasi Produk Domestik Bruto melalui APBN (sampai sejumlah 20%), termasuk bagaimana mendidik generasi yang akan datang. Mendidik dan memberi bantuan pendidikan, agar generasi penerus bangsa ini lebih terdidik, lebih pandai, lebih intelek, lebih tahu tatakrama dan bagaimana melaksanakan kewajiban bernegara dan berbangsa tersebut. Lebih tanggap dan mantap akan arti bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tidak lagi dijajah orang lain, dari segi dan bentuk apapun juga. Juga termasuk tidak mau lagi diatur oleh orang lain, sesuai dengan kalimat pada Mukkadimah UUD-45 lagi : “bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa......” Kesemuanya, sebagai pembentuk karakter bangsa ada ditangan dunia pendidikan, dimana para guru mendidik anak anak bangsa ini.











A.   PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).
Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak menjadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.



Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000: 194).
 Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang kemauan untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappiare dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.

B.   DEFINISI KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Hakekat Karakter

Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.

Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya

Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

C.   Membangun bangsa berkarakter

Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum biala mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).

Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:
1.    Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
2.    Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi.  Kemanusiaan yang adil dan beradap;
3.    Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan,   Persatuan Indonesia;
4.    Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.    Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional.   Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan Jum’at, 19 Juni 2009 mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi: (1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya); (2) Knowing Yourself (memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral); (4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times & Places; (8) Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang.
Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama) memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Karakter manusia “sempurna” sebagaimana ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man dassaha)
Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)
           

            Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:
1.    Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2.    Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3.    Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4.    Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5.    Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6.    Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7.    Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.
Catatan dalam membangun karakter bangsa sejak dini
1.    Sistem pendidikan dini yang kita berlakukan terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.
2.    Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau 9, akan tetapi murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

3.    Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami
kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.
4.    Selanjutnya dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.
Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1.    Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
2.    Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3.    Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
4.    Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5.    Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6.    Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7.    Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8.    Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.


D.   LINGKUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER
  1. Lingkungan Keluarga
Pendidikan anak yang paling adalah pendidikan dalam keluarga. Pendidikan keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak dan menjadi kunci utama dalam membentuk pribadi anak menjadi baik. Seorang anak yang dididik oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang akan merasa dihargai dan dibutuhkan, ia pun akan menyayangi keluarganya sehingga akan tercipta kondisi yang saling menghargai dan saling membantu. Kondisi tersebut sangat mendukung perkembangan anak karena orang tualah yang berperan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Di dalam keluarga yang penuh rasa kasih sayang, menjadikan harga diri anak dapat berkembang karena ia merasa dihargai, dicintai, dan diterima sebagai manusia. Dengan kita dihargai dan dihormati, maka kita juga dapat menghargai orang lain. Keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan anak yang memiliki kepribadian baik. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga harus menjadi dasar yang kuat dalam membangun kepribadian seorang anak.
  1. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan pendidikan kedua setelah keluarga. Guru menjadi media pendidik dan sumber informasi bagi anak didik dalam memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Guru berperan memberikan bantuan, motivasi, dan tugas kepada anak untuk melatih kedisiplinan agar anak memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya. Di lingkungan sekolah lebih menekankan pengajaran tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku serta norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sehingga anak dapat menempatkan diri dimanapun dia berada dan bagaimana bersikap yang baik, sopan, dan santun kepada siapapun terlebih kepada orang yang lebih tua.
  1. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting bagi perkembangan anak didik, karena lingkungan masyarakat dapat memberikan gambaran bagaimana hidup bermasyarakat. Anak didik berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, sehingga masyarakat dapat menilai anak tersebut apakah dia terdidik atau tidak terdidik.
Dengan pendidikan, dalam diri anak tertanam pengetahuan yang membuat dia bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat memajukan diri sendiri dan dapat dimanfaatkan dengan bijaksana. Selain itu, pendidikan juga dapat menanamkan hal-hal positif sejak dini terhadap anak didik. Melihat kondisi saat ini, anak didik sebagai generasi muda penerus bangsa diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain serta agar tidak mudah diperbudak dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Akan tetapi, hanya berpendidikan saja tidak cukup untuk membangun sebuah pribadi yang berkualitas. Manusia yang berpendidikan tinggi dengan IQ jenius saja tidak menjamin kemajuan bangsanya jika tidak memiliki karakter yang baik, bahkan mungkin saja malah digunakan untuk menghancurkan bangsanya demi keuntungan pribadi. Tanpa membangun pendidikan karakter, seseorang akan tumbuh menjadi seseorang yang mungkin saja pandai, tetapi miskin spiritual dan emosional. Proses pendidikan tanpa disertai pembangunan karakter, hanya sekedar menjadi sarana pelatihan dan asah otak, sedangkan tingkah laku dan moral terabaikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan membantu manusia menjadi cerdas dan pandai serta menjadi manusia yang baik dan bijak. Untuk menjadikan manusia cerdas dan pintar bukanlah hal yang sulit dilakukan, tetapi untuk menjadikan seseorang agar menjadi orang baik dan bijak itu bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan dapat dikatakan sangat sulit.
Kualitas moral generasi muda saat ini boleh dikatakan menurun, oleh karena itulah perlu diselenggarakan pendidikan karakter yang meliputi pendidikan moral, pendidikan nilai-nilai kehidupan, religius, dan budi pekerti di setiap institusi pendidikan. Karakter merupakan pola perilaku yang bersifat individual. Menurut Williams & Schnaps (1999), makna dari pendidikan karakter adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh para anggota sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.
Menurut Lickona, ada tujuh alasan bahwa pendidikan karakter harus disampaikan yaitu:
  1. cara terbaik untuk menjamin anak didik memiliki kepribadian baik dalam hidupnya
  2. cara untuk meningkatkan prestasi akademik
  3. sebagian anak didik tidak dapat membentuk karakter yang kuat di tempat lain
  4. mempersiapkan anak didik untuk menghormati orang lain dan hidup di masyarakat
  5. berawal dari permasalahan moral-sosial seperti kekerasan, pelanggaran seksual, ketidaksopanan, ketidakjujuran, dan etos kerja yang rendah
  6. persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja
  7. mengajarkan nilai-nilai budaya
Pendidikan karakter yang diberikan kepada siswa sebagai generasi penerus bangsa mengarah kepada rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, adil, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang bermoral, berakhlak mulia, berjiwa patriot, tangguh dan kompetitif yang didasarkan oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai etis yang disebut dengan Enam Pilar Pendidikan Karakter, yaitu:
1.    Kepercayaan
Anak didik harus mampu jujur, membangun reputasi yang baik, tidak mencuri, memiliki keberanian untuk melakukan tindakan yang benar, dan patuh.
2. Respek

Mau menghargai orang lain, toleransi terhadap sesama, memiliki sopan santun dimanapun berada.
3. Tanggung jawab

Anak didik harus berani bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, berpikir sebelum bertindak tentang konsekuensi atas tindakannya, dan disiplin.
4. Keadilan

Berani memberikan pembelaan kepada yang benar, berpikiran terbuka dan tidak asal menyalahkan orang lain, bermain sesuai aturan, mau berbagi dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain.
5. Peduli

Membantu orang yang membutuhkan, menunjukkan sikap peduli, memaafkan orang lain.
6.Kewarganegaraan

Menjadi warga negara yang taat terhadap peraturan dan hukum, melindungi lingkungan hidup, melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat serta mau dan mampu bekerjasama.
Pada pilar keenam, disebutkan bahwa kita harus melindungi lingkungan hidup sehingga perlu juga dikenalkan pendidikan lingkungan hidup di kalangan masyarakat karena pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dasar demi peningkatan kesadaran masyarakat berperan aktif dalam melestarikan lingkungan hidup. Jika sebuah bangsa telah memiliki keenam pilar tersebut, dapat dipercaya, jujur, tidak mencuri, dapat menghargai orang lain, mampu bersikap sopan, mau bertanggung jawab atas tindakannya, tidak sembarangan menyalahkan orang lain, tidak mengambil keuntungan dari orang lain, peduli terhadap sesama, membantu orang yang membutuhkan, menjadi warga negara yang baik, bisa bekerjasama dengan orang lain, menaati aturan dan hukum, maka akan terwujud suatu bangsa yang maju dan berkembang serta aman, tentram, damai sejahtera dan niscaya korupsi dan terorisme dapat diberantas.


E.    PERAN PENDIDIK DALAM MEMBENTUK KARAKTER SDM

Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1.    Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
  1. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.    Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4.    Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
  1. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter
Berbagai penelitian empiric menunjukkan bahwa factor guru/dosen memainkan peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter murid. Diperoleh data bahwa ada kecenderungan makin tinggi level lembaga pendidikan formal makin rendah peran dan kontribusi guru/pendidik dalam kesuksesan murid, misalnya PAUD/TK sampai >90%, SD/MI sekitar 80-90%, SMP/MTS sekitar 70-80%, SMA/MA/SMK sekitar 60-70%, Mahasiswa S1 sekitar 40-50%, S2 sekitar 20-30%, dan S3 sekitar 10%, atau mungkin bisa kurang. 
GURU: Pendidik profesional memiliki tugas utama untuk: (1) mendidik, (2) membimbing, (3)  mengarahkan, (4) melatih, (5) menilai, dan (6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah














F.  PENUTUP

Sebagai penutup, saya simpulkan bahwa pembentukan karakter SDM yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan global yang lebih berat. Karakter SDM dalam dibentuk melalui proses pendidikan formal, non formal, dan informal yang ketiganya harus bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter menjadi sangat vital sehingga anak didik atau SDM Indonesia menjadi manusia yang religius, moderat, cerdas, dan mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional serta watak bangsa Indonesia.
”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (mengejewantah) dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) adalah jujur, sabar, rendah hati, tanggung jawab dan rasa hormat, yang tercermin dalam kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis. Tanpa nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan. Ciri orang yang kuat imannya, antara lain: (1) secara tulus dia patuh pada Tuhannya; (2) dia tertib dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual; (3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang toleran; (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan social. Dll.













DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Cece Rakhmat, M.Pd. MENYEMAI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN MODERNITAS (Disampaikan dalam Seminar Nasional di Institut Hindu Dharma Negeri, Bali)