MAKALAH
ILMU PENDIDIKAN
DISUSUN
OLEH
NAMA : M.REDO ALFENDO
NIM : 13503249001
PENDIDIKAN
TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
........................................................................................................................................
|
i
|
ABSTRAK ...........................................................................................................................................
|
1
|
A.
PENDAHULUAN
...................................................................................................................
|
2
|
B.
DEFINISI
KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER
................................................
|
5
|
C.
MEMBANGUN
BANGSA BERKARAKTER
.......................................................................
|
7
|
D. LINGKUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER
.......................................................................
|
12
|
E. PERAN PENDIDIK DALAM
MEMBENTUK KARAKTER SDM ......................................
|
16
|
F.
PENUTUP
..............................................................................................................................
|
19
|
DAFTAR PUSTAKA
.........................................................................................................................
|
20
|
ABSTRAK
Sehari hari kita masih dipenuhi dengan berita
tentang makin merambaknya berbagai gejala sosial yang salah : Kolusi, Korupsi,
yang menjadi “budaya se hari-hari” , tatakrama dan perilaku yang tidak sesuai
budaya yang kita yakini, maupun perilaku para pemimpin atau orang yang kita
anggap dapat memimpin kita yang menjadi panutan kita. Penyalahgunaan wewenang
dan kekuasaan yang berakibat panutan yang salah dan diteruskan sebagai budaya
untuk generasi penerus. Budaya yang disebutkan ini kemudian menjadi semacam “icon”
dari bangsa ini, dan tercermin sebagai “karakter bangsa”.
Tatanilai
manusia bangsa Indonesia dikatakan makin berubah kearah yang tidak
menentu : tidak mempunyai nilai-budaya lagi karena kurangnya pendidikan
“budi-pekerti” sejak awal pendidikan dasar. Evaluasi terhadap “pendidikan di
Indonesia” dikatakan oleh banyak pendapat, masih tertinggal dibandingkan negara
negara tetangga kita sesama Asia. Ada rencana untuk maju, menambah dana untuk
pendidikan dari alokasi Produk Domestik Bruto melalui APBN (sampai sejumlah
20%), termasuk bagaimana mendidik generasi yang akan datang. Mendidik dan
memberi bantuan pendidikan, agar generasi penerus bangsa ini lebih terdidik,
lebih pandai, lebih intelek, lebih tahu tatakrama dan bagaimana melaksanakan kewajiban
bernegara dan berbangsa tersebut. Lebih tanggap dan mantap akan arti bangsa
Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tidak lagi dijajah orang lain, dari segi
dan bentuk apapun juga. Juga termasuk tidak mau lagi diatur oleh orang lain,
sesuai dengan kalimat pada Mukkadimah UUD-45 lagi : “bahwa kemerdekaan adalah
hak segala bangsa......” Kesemuanya, sebagai pembentuk karakter bangsa ada
ditangan dunia pendidikan, dimana para guru mendidik anak anak bangsa ini.
A.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi
geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati,
kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu,
bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang
maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk
mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang
kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana
masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan,
kelembagaan Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung,
dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi
paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan
fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak,
dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya,
masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan,
disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan
melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).
Dari sejumlah fakta positif
atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar
menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa
sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik,
ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan
peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan
revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat
dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya
yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar
berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif,
berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun
ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat
dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar
memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia
mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan
pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat kondisi sekarang dan
akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat
vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing
bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU
tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum
mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus
aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang menghadapi
ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas,
terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang
senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah
mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam
sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat
memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak
tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini
fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa
kita kelak menjadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita
melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian,
perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh
orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya
mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga
mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada
peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi
pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.
Kenapa
Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal
terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal
dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan
informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk
kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut.
Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah
jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenis.
Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa
pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama
ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung
untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga
pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang
adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap
baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan
perkelahian antarpelajar, memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau
melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari
penyimpangan moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000:
194).
Oleh karena itu, ke depan dalam
rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan
ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya
adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala
anak pada fase negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang
kemauan untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada
pertentangan sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul
minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan
berkhayal (Mappiare dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari
gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik
akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap
anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.
B.
DEFINISI
KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Hakekat
Karakter
Menurut
Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran,
sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80)
memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai
”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal
yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang
mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas
bangsa.
Sementara
Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti
‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku.
Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam,
atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk.
Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang
tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat
kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang
berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah
moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan
akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang
telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan
lagi.
Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya
Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya
Pendidikan Karakter
Pendidikan
adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat
sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan
sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai
sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak
harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi
kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu:
(1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk
budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2)
kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk
menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
(3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan
teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Ki
Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah
berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya,
dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik
secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan
karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut
modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori
konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari
rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
C.
Membangun
bangsa berkarakter
Karakter
bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila
bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka
akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan
pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang
berkarakter. Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan
suatu kaum biala mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin
hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).
Lima pilar
karakter luhur bangsa Indonesia:
1. Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan
yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan
semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan
diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan
yang maha Esa;
2. Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata
Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai
subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan
yang adil dan beradap;
3. Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan
di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;
4. Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia.
Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil
tidak berarti sama, tetapi proporsional.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan
Jum’at, 19 Juni 2009 mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter,
perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter.
Powerfull ideas ini meliputi: (1) God,
the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya);
(2) Knowing Yourself (memahami diri sendiri); (3)
Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral); (4) Understanding &
Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami); (5) A Sense
of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing Strength from the
Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times & Places;
(8) Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a
Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.
Adapun nilai-nilai luhur
yang perlu diajarkan agar
menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Dr
Sukamto,
antara lain meliputi: Kejujuran;
Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan
sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan
Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan
dan kasih sayang.
Seorang
intelektual hendaknya
berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama) memiliki sifat-sifat sebagai
berikut:
Karakter manusia “sempurna” sebagaimana
ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami
akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah
memiliki karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik,
bila tidak niscaya yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa
alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man
dassaha)
Agar
dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus
diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri
setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka
semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh
itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik).
Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)
Beberapa
factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:
1. Sadar
sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu
memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun
dari nilai-nilai transendensi.
2. Cinta
Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini
bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya
memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan
apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3. Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka
membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4. Bijaksana
:
Karakter ini muncul karena keluasan wawasan
seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang
mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari
adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5. Pembelajar
sejati: Untuk dapat
memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang
pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya
ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai
kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian
banyak perbedaan.
6. Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai
humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki
potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya
penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7. Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.
Catatan
dalam membangun karakter bangsa sejak dini
1.
Sistem pendidikan dini yang kita berlakukan
terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang
memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal,
pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.
2.
Mata pelajaran yang berkaitan dengan
pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada
prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar
“tahu”). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau
9, akan tetapi murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling,
loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan
seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot
akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
3.
Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya
rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga
anak beresiko besar mengalami
kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.
kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.
4. Selanjutnya
dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu
melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar
nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya;
(2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat
dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri,
Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8)
Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.
Implementasi
Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan
pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan
perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini
ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1. Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan
antara siswa, guru, dan masyarakat
2. Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada
ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3. Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran
akademik
4. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih
utama dibandingkan persaingan
5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi
bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6. Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku
moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan
masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan
beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun
kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran
lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter
mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama
mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin
tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan
pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin
kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa
prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya,
dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan
masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep
pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga
pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus
dilakukan secara berkelanjutan (continually)
sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya
sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan
keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa
anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa
anak.
D.
LINGKUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER
- Lingkungan
Keluarga
Pendidikan
anak yang paling adalah pendidikan dalam keluarga. Pendidikan keluarga memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak dan menjadi kunci
utama dalam membentuk pribadi anak menjadi baik. Seorang anak yang dididik oleh
orang tuanya dengan penuh kasih sayang akan merasa dihargai dan dibutuhkan, ia
pun akan menyayangi keluarganya sehingga akan tercipta kondisi yang saling
menghargai dan saling membantu. Kondisi tersebut sangat mendukung perkembangan
anak karena orang tualah yang berperan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak. Di dalam keluarga yang penuh rasa kasih sayang, menjadikan harga diri
anak dapat berkembang karena ia merasa dihargai, dicintai, dan diterima sebagai
manusia. Dengan kita dihargai dan dihormati, maka kita juga dapat menghargai
orang lain. Keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan
anak yang memiliki kepribadian baik. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga
harus menjadi dasar yang kuat dalam membangun kepribadian seorang anak.
- Lingkungan
Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan pendidikan kedua setelah
keluarga. Guru menjadi media pendidik dan sumber informasi bagi anak didik
dalam memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Guru
berperan memberikan bantuan, motivasi, dan tugas kepada anak untuk melatih
kedisiplinan agar anak memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya. Di
lingkungan sekolah lebih menekankan pengajaran tentang kedisiplinan, tanggung
jawab, dan ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku serta norma-norma yang
berlaku di lingkungan masyarakat sehingga anak dapat menempatkan diri dimanapun
dia berada dan bagaimana bersikap yang baik, sopan, dan santun kepada siapapun
terlebih kepada orang yang lebih tua.
- Lingkungan
Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting bagi
perkembangan anak didik, karena lingkungan masyarakat dapat memberikan gambaran
bagaimana hidup bermasyarakat. Anak didik berinteraksi secara langsung dengan
masyarakat, sehingga masyarakat dapat menilai anak tersebut apakah dia terdidik
atau tidak terdidik.
Dengan pendidikan, dalam diri anak tertanam pengetahuan yang membuat dia bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat memajukan diri sendiri dan dapat dimanfaatkan dengan bijaksana. Selain itu, pendidikan juga dapat menanamkan hal-hal positif sejak dini terhadap anak didik. Melihat kondisi saat ini, anak didik sebagai generasi muda penerus bangsa diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain serta agar tidak mudah diperbudak dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Akan tetapi, hanya berpendidikan saja tidak cukup untuk membangun sebuah pribadi yang berkualitas. Manusia yang berpendidikan tinggi dengan IQ jenius saja tidak menjamin kemajuan bangsanya jika tidak memiliki karakter yang baik, bahkan mungkin saja malah digunakan untuk menghancurkan bangsanya demi keuntungan pribadi. Tanpa membangun pendidikan karakter, seseorang akan tumbuh menjadi seseorang yang mungkin saja pandai, tetapi miskin spiritual dan emosional. Proses pendidikan tanpa disertai pembangunan karakter, hanya sekedar menjadi sarana pelatihan dan asah otak, sedangkan tingkah laku dan moral terabaikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan membantu manusia menjadi cerdas dan pandai serta menjadi manusia yang baik dan bijak. Untuk menjadikan manusia cerdas dan pintar bukanlah hal yang sulit dilakukan, tetapi untuk menjadikan seseorang agar menjadi orang baik dan bijak itu bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan dapat dikatakan sangat sulit.
Kualitas moral generasi muda saat ini boleh dikatakan menurun, oleh karena itulah perlu diselenggarakan pendidikan karakter yang meliputi pendidikan moral, pendidikan nilai-nilai kehidupan, religius, dan budi pekerti di setiap institusi pendidikan. Karakter merupakan pola perilaku yang bersifat individual. Menurut Williams & Schnaps (1999), makna dari pendidikan karakter adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh para anggota sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.
Menurut Lickona, ada tujuh alasan bahwa pendidikan karakter harus disampaikan yaitu:
Dengan pendidikan, dalam diri anak tertanam pengetahuan yang membuat dia bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat memajukan diri sendiri dan dapat dimanfaatkan dengan bijaksana. Selain itu, pendidikan juga dapat menanamkan hal-hal positif sejak dini terhadap anak didik. Melihat kondisi saat ini, anak didik sebagai generasi muda penerus bangsa diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain serta agar tidak mudah diperbudak dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Akan tetapi, hanya berpendidikan saja tidak cukup untuk membangun sebuah pribadi yang berkualitas. Manusia yang berpendidikan tinggi dengan IQ jenius saja tidak menjamin kemajuan bangsanya jika tidak memiliki karakter yang baik, bahkan mungkin saja malah digunakan untuk menghancurkan bangsanya demi keuntungan pribadi. Tanpa membangun pendidikan karakter, seseorang akan tumbuh menjadi seseorang yang mungkin saja pandai, tetapi miskin spiritual dan emosional. Proses pendidikan tanpa disertai pembangunan karakter, hanya sekedar menjadi sarana pelatihan dan asah otak, sedangkan tingkah laku dan moral terabaikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan membantu manusia menjadi cerdas dan pandai serta menjadi manusia yang baik dan bijak. Untuk menjadikan manusia cerdas dan pintar bukanlah hal yang sulit dilakukan, tetapi untuk menjadikan seseorang agar menjadi orang baik dan bijak itu bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan dapat dikatakan sangat sulit.
Kualitas moral generasi muda saat ini boleh dikatakan menurun, oleh karena itulah perlu diselenggarakan pendidikan karakter yang meliputi pendidikan moral, pendidikan nilai-nilai kehidupan, religius, dan budi pekerti di setiap institusi pendidikan. Karakter merupakan pola perilaku yang bersifat individual. Menurut Williams & Schnaps (1999), makna dari pendidikan karakter adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh para anggota sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.
Menurut Lickona, ada tujuh alasan bahwa pendidikan karakter harus disampaikan yaitu:
- cara terbaik untuk menjamin anak didik memiliki kepribadian baik dalam
hidupnya
- cara untuk meningkatkan prestasi akademik
- sebagian anak didik tidak dapat membentuk karakter yang kuat di tempat
lain
- mempersiapkan anak didik untuk menghormati orang lain dan hidup di
masyarakat
- berawal dari permasalahan moral-sosial seperti kekerasan, pelanggaran
seksual, ketidaksopanan, ketidakjujuran, dan etos kerja yang rendah
- persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja
- mengajarkan nilai-nilai budaya
Pendidikan karakter yang diberikan kepada siswa
sebagai generasi penerus bangsa mengarah kepada rasa hormat, tanggung jawab,
jujur, peduli, adil, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain,
pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang bermoral, berakhlak mulia,
berjiwa patriot, tangguh dan kompetitif yang didasarkan oleh iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai etis yang disebut dengan Enam Pilar Pendidikan Karakter, yaitu:
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai etis yang disebut dengan Enam Pilar Pendidikan Karakter, yaitu:
1. Kepercayaan
Anak didik harus mampu jujur, membangun reputasi yang baik, tidak mencuri,
memiliki keberanian untuk melakukan tindakan yang benar, dan patuh.
2. Respek
2. Respek
Mau menghargai orang lain, toleransi terhadap sesama, memiliki sopan santun dimanapun berada.
3. Tanggung jawab
Anak didik harus berani bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, berpikir sebelum bertindak tentang konsekuensi atas tindakannya, dan disiplin.
4. Keadilan
Berani memberikan pembelaan kepada yang benar, berpikiran terbuka dan tidak asal menyalahkan orang lain, bermain sesuai aturan, mau berbagi dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain.
5. Peduli
Membantu orang yang membutuhkan, menunjukkan sikap peduli, memaafkan orang lain.
6.Kewarganegaraan
Menjadi warga negara yang taat terhadap peraturan dan hukum, melindungi lingkungan hidup, melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat serta mau dan mampu bekerjasama.
Pada pilar keenam, disebutkan bahwa kita harus melindungi lingkungan hidup sehingga perlu juga dikenalkan pendidikan lingkungan hidup di kalangan masyarakat karena pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dasar demi peningkatan kesadaran masyarakat berperan aktif dalam melestarikan lingkungan hidup. Jika sebuah bangsa telah memiliki keenam pilar tersebut, dapat dipercaya, jujur, tidak mencuri, dapat menghargai orang lain, mampu bersikap sopan, mau bertanggung jawab atas tindakannya, tidak sembarangan menyalahkan orang lain, tidak mengambil keuntungan dari orang lain, peduli terhadap sesama, membantu orang yang membutuhkan, menjadi warga negara yang baik, bisa bekerjasama dengan orang lain, menaati aturan dan hukum, maka akan terwujud suatu bangsa yang maju dan berkembang serta aman, tentram, damai sejahtera dan niscaya korupsi dan terorisme dapat diberantas.
E.
PERAN PENDIDIK DALAM MEMBENTUK KARAKTER SDM
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang
penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau
anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan
bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan
beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1.
Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi,
dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
- Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang
memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi
siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan
sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap
peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan
dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.
Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa
tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4.
Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa
pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami
perkembangan karakter.
- Pendidik perlu menjelaskan atau
mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang
berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat
lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006)
adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan
partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara
eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and
acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa
masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum
yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa
pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan
sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan
shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya
mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam
membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1)
harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan
siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh
tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu
mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran
yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga
kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang
saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan
mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih
bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan
siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa
sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal
seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1)
harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki
kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus
memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter
anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri
kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang
pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan
berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya:
(1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan,
(3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4)
signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial
identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
Peran
Guru Dalam Pendidikan Karakter
Berbagai penelitian
empiric menunjukkan bahwa factor guru/dosen memainkan peran yang sangat besar
dalam pembentukan karakter murid. Diperoleh data bahwa ada kecenderungan makin
tinggi level lembaga pendidikan formal makin rendah peran dan kontribusi
guru/pendidik dalam kesuksesan murid, misalnya PAUD/TK sampai >90%, SD/MI
sekitar 80-90%, SMP/MTS sekitar 70-80%, SMA/MA/SMK sekitar 60-70%, Mahasiswa S1
sekitar 40-50%, S2 sekitar 20-30%, dan S3 sekitar 10%, atau mungkin bisa
kurang.
GURU: Pendidik profesional memiliki tugas utama untuk: (1) mendidik, (2)
membimbing, (3) mengarahkan, (4)
melatih, (5) menilai, dan (6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
F. PENUTUP
Sebagai
penutup, saya simpulkan bahwa pembentukan karakter SDM yang kuat sangat diperlukan
untuk menghadapi tantangan global yang lebih berat. Karakter SDM dalam dibentuk
melalui proses pendidikan formal, non formal, dan informal yang ketiganya harus
bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter
menjadi sangat vital sehingga anak didik atau SDM Indonesia menjadi manusia
yang religius, moderat, cerdas, dan mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan
pendidikan nasional serta watak bangsa Indonesia.
”Pilar
akhlak (moral) yang dimiliki (mengejewantah) dalam diri seseorang sehingga ia
menjadi orang yang berkarakter baik (good character) adalah jujur, sabar, rendah hati, tanggung jawab
dan rasa hormat, yang tercermin dalam kesatuan organisasi/sikap yang
harmonis dan dinamis. Tanpa nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values)
yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang
dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan. Ciri orang yang kuat imannya,
antara lain: (1) secara tulus dia patuh pada Tuhannya; (2) dia tertib dan
disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara
mahdhoh/ritual; (3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga
tercipta kehidupan yang toleran; (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang
kehidupan social. Dll.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Cece Rakhmat, M.Pd.
MENYEMAI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN
MODERNITAS (Disampaikan dalam Seminar Nasional di Institut Hindu Dharma Negeri,
Bali)